Jumat, Agustus 08, 2008

Kenapa Kita Cinta "Sneakers"

Sneakers berkembang jauh melewati fungsi aslinya. Kini sneakers enggak hanya dikenal sebagai sepatu yang menemani kita setiap kali berolahraga. Sneakers sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita. Bahkan, ketertarikan mengumpulkan sepatu olahraga atau malah mendalami kultur sneakers bukan lagi hal yang basi.

Tingkat penjualan sneakers mengalami masa kejayaannya sendiri. Di Amerika setiap tahunnya terjadi transaksi penjualan sneakers lebih dari 13 miliar dan lebih dari 350 juta pasang sneakers terjual.

Enggak kerasa perkembangan sneakers era per era melahirkan ikon sneakers-nya sendiri. Sean Penn dalam film Fast Times at Ridgemont High (1982) terlihat sangat cool kala mengenakan sneakers Vans tipe Slip-On. Sneakers yang aslinya dikonsumsi untuk anak skate mencatat rekor penjualan tertinggi, jauh melewati penjualan sepatu olahraga jenis lain.

Hal ini membuat Vans direken sebagai leader dalam hal sepatu khusus extreme sport. Belum lagi loyalitas brand yang dibangun Vans, jauh melewati loyalitas brand lainnya, termasuk Nike, salah satu brand sneakers paling populer di dunia. Nike, yang mencoba masuk ke pasaran extreme sport, gagal total. Banyak anak skate yang memutuskan untuk memakai pin pelesetan slogan Nike, ”Don’t Do It”, demi melakukan penolakan terhadap Nike.

Hal itu terus berlanjut. Memasuki era 1990-an sampai 2000-an, popularitas Vans Slip On enggak pernah drop. Kala personel Blink 182 memakai Slip On motif papan catur, banyak remaja (termasuk kita) berburu Vans Slip On.

Film

Enggak hanya Vans, beberapa merek juga mempunyai ikonnya sendiri. Semisal, Asics Onitsuka Tiger tipe Tai Chi yang dipakai Bruce Lee dalam beberapa filmnya. Sepatu yang aslinya diproduksi tahun 1960-an sampai 1970-an naik lagi popularitasnya kala Quentin Tarantino merilis Kill Bill Vol. 1 (2003). Ingat kan, pertarungan The Bride (Uma Thurman) di dalam bar Jepang menggunakan jaket dan celana training warna kuning? Sepatu warna kuning yang dia pakai adalah Asics Onitsuka Tiger versi Tai Chi.

Kocaknya biarpun yang dipakai adalah versi Tai Chi, yang laku di pasaran malah Asics Onitsuka Tiger versi Meksiko. Sepatu yang aslinya diproduksi tahun 1966 ini laku keras sekitar satu tahun belakangan ini.

Deretan musisi juga membantu memopulerkan merek tertentu. Joey Belladona, vokalis Anthrax, sempat memakai Converse All Stars Chuck Taylor dan bikin hype tersendiri.

Toh, popularitas Converse All Star, khususnya Chuck Taylor, bukan dikarenakan Belladona. Jauh sebelum Belladona memakai sepatu ini, Converse All Star sudah menjadi legenda tersendiri sampai sekarang.

Buat sekadar info, Converse All Star bisa dibilang sneakers paling tua dan masih eksis sampai sekarang. Diciptakan pertama kali tahun 1917, tetapi baru memakai nama Converse All Star Chuck Taylor sekitar tahun 1923. Chuck Taylor sendiri merupakan seorang legenda bola basket Amerika.

Biarpun dirasa keras dan enggak terlalu nyaman kala dipakai dan modelnya terlihat kuno, tetap saja Converse All Star punya penggemarnya sendiri. Popularitasnya makin naik ketika tahun 1970-an sampai 1980-an diperkenalkan warna All Star lain selain putih.

Selain Belladona, masih banyak musisi dan bintang film lain yang ikut memopulerkan sebuah jenis sneakers. Run DMC, misalnya. Geng rapper asal New York ini sempat memopulerkan Adidas Stan Smith versi velcro. Atau malah Jackie Chen yang sempat mejeng memakai Reebok Insta Pump.

Selain seleb, olahragawan juga menjadi penyumbang paling besar dalam pemasaran sebuah tipe sneakers. Lihat Michael Jordan, dengan seri Nike Air Jordan. Mulai dari seri Air Jordan I (1985) sampai Air Jordan V (1990), enggak ada yang enggak laku.

Selain itu, masih dari gemerlapnya panggung NBA, ada Nike Air Force 180, yang dipakai Charles Barkley. Atau Dee Brown yang memopulerkan Reebok Pump Omni kala memenangi Slam Dunk Contest NBA All Star tahun 1991.

Gaya hidup

Sadar atau enggak, sneakers memang sudah menjadi pelengkap gaya hidup. Musik, film, olahraga, dan fashion, semua berhubungan dengan benda yang satu ini. Beberapa jenis sneakers bahkan menjadi ciri khas sebuah genre musik.

Ingat lagu Korn berjudul A.D.I.D.A.S, walaupun nih lagu enggak ada hubungannya sama merek sepatu berlambang tiga garis tersebut, tetap saja sebagai rasa terima kasih karena di-endorse Adidas, Korn membuat lagu dengan judul seperti itu. Selain Adidas Stan Smith, Puma Suede juga punya kaitan erat dengan pemusik hip hop. Atau malah belakangan Nike Dunk menyusul fenomena Vans Slip On yang sering dipakai anak- anak Emo.

Perkembangan sneakers sebagai sebuah ikon fashion dan gaya hidup berbanding lurus dengan perkembangan dunia fashion. Beberapa produsen sneakers membuat beberapa desain sepatu limited edition, yang khusus dibuat untuk sebuah merek fashion tertentu.

Merek clothing Bathing Ape, misalnya, yang sempat membuat kolaborasi bareng Adidas Stan Smith. Atau Reebok yang membuat edisi khusus Reebok G Unit untuk meng-endorse grup rap G Unit. Atau Puma yang pernah berkolaborasi bareng seorang desainer Jepang bernama Mihara Yasuhiro.

Kegilaan akan sebuah kultur baru ini juga melahirkan beberapa event eksibisi. Salah satunya adalah Sneaker Pimp. Eksibisi ini disebut-sebut sebagai salah satu eksibisi sneakers terbesar di dunia. Sebagai sebuah eksibisi sneakers, event ini termasuk besar. Diadakan di 45 negara dan didatangi lebih dari 300 artis yang melakukan customized sneakers.

Enggak perlu jauh-jauh. Indonesia pun sudah mulai melakukan hal itu. Sabtu (27/8) lalu, di Museum Gajah diadakan sebuah eksibisi sneakers, yang bergabung dengan pameran urban art macam graffiti dan pameran desain grafis.

Acara yang bernama Mediumrare: Sneakers & Art Exhibition ini memajang lebih dari 250 pasang sepatu collector items, beserta beberapa sneakers yang sudah di-customized oleh beberapa artis lokal. Diadakan hanya satu malam dan enggak heran pengunjungnya membeludak.

Sayang, apresiasi pengunjung yang datang ke sana masih melihat sneakers sebagai sebuah barang dagangan. Padahal, apa yang dipamerkan di sana sudah enggak bisa dipandang lagi sebagai sebuah produk industri, melainkan sebuah karya seni. ”Makanya, kami enggak lagi menuliskan sejarah, tetapi hanya seri sepatunya saja,” ujar Taufan dari Footurama.

Well, membuat sebuah tren menjadi sebuah kultur memang bukan hal mudah. Who knows dari Indonesia nantinya akan ada artis-artis yang hobi meng-customized sneakers. Siapa tahu!


Get from : www.kompas.co.id

2 komentar:

judi bola mengatakan...

ternyata sneakers itu asal mulanya spatu vans ya bro

Gagan mengatakan...

udah keliatan bro dari sepatunya rata2 hampir mirip sih